Penjajahan Belanda di Nusantara dimulai saat kedatangan bangsa Belanda pertama kali pada tahun 1596 di Banten, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan utama mereka adalah menguasai jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan di Eropa. Tahun 1602, Belanda membentuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai kongsi dagang raksasa dengan kekuasaan yang sangat luas, termasuk hak mencetak uang, membuat perjanjian, bahkan berperang. VOC dengan cepat menguasai pusat-pusat perdagangan rempah seperti Maluku, Batavia (Jakarta), dan sebagian besar wilayah pesisir Nusantara.
Namun kekuasaan VOC tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga menanamkan kekuasaan politik yang menindas. Petani dipaksa menanam tanaman tertentu demi ekspor, dan praktik monopoli merugikan masyarakat lokal. VOC runtuh pada 1799 karena korupsi dan kebangkrutan, tapi kekuasaan Belanda belum berakhir.
Peralihan ke Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah VOC dibubarkan, wilayah-wilayah kekuasaannya diambil alih langsung oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Inilah awal mula pemerintahan kolonial yang dikenal sebagai Hindia Belanda.
Pemerintahan kolonial ini lebih sistematis dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan besar seperti:
- Tanam Paksa (Cultuurstelsel)oleh Van den Bosch tahun 1830 yang mengeksploitasi rakyat untuk menanam kopi, tebu, dan nila demi kepentingan ekonomi Belanda.
- Pemisahan sosialantara Eropa, Timur Asing, dan Pribumi yang memperparah ketimpangan sosial.
- Sistem pendidikan kolonialyang sangat terbatas dan diskriminatif, hanya segelintir orang pribumi yang boleh mengenyam sekolah.
Namun di sisi lain, muncul pula perlawanan yang menyebar ke berbagai wilayah: Diponegoro, Pattimura, Imam Bonjol, hingga perjuangan modern oleh Budi Utomo dan Sarekat Islam. Kolonialisme ini justru menyatukan berbagai elemen Nusantara untuk berjuang bersama menjadi satu bangsa: Indonesia.
Warisan Kolonial dan Relevansi untuk Pendidikan Sosial
Jejak kolonialisme Belanda meninggalkan bekas panjang dalam sejarah bangsa. Bangunan kolonial, sistem pemerintahan, bahkan struktur ekonomi kita hari ini masih banyak yang berakar dari masa penjajahan. Namun yang paling penting: kita belajar untuk tidak mengulangi penjajahan dalam bentuk apapun, termasuk kemiskinan struktural dan ketimpangan pendidikan.
Melalui pemahaman sejarah, kita bisa menumbuhkan kesadaran sosial dan nasionalisme yang kuat. Yayasan Cendikia Indonesia Taqwa berperan aktif dalam meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, serta solidaritas sosial, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertinggalan yang diwariskan masa lalu.
Mari warisi semangat perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial dengan berdonasi untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat melalui Yayasan Cendikia Indonesia Taqwa.
Klik untuk Donasi Sekarang
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah perjuangannya.”
– Ir. Soekarno